Kamis, 25 Januari 2018

Pembahasan Tasawwuf Lengkap (Pengertian Tasawuf, Dasar-Dasar Tasawuf, Tujuan Tasawuf, Perkembangan Tasawuf, dll)

A.Pengertian Tasawuf

  • 1.Pengertian Tasawuf Secara Etimologi (Bahasa)

    pengertian taswuf adalahPengertian tasawauf menurut bahasa atau etimologi, Para ahli berselisih tentang asal kata tasawuf, antara lain :
    • Shuffah ( serambi tempat duduk ): yakni serambi masjid nabawi di Madinah yang disediakan untuk orang-orang yang belum mempunyai tempat tinggal dan kalangan Muhajirin di masa Rasulullah SAW. Mereka biasa dipanggil ahli shuffah (pemilik serambi) karena di serambi masjid itulah mereka bernaung.
    • Shaf ( barisan ): karena kaum shufi mempunyai iman kuat, jiwa bersih, ikhlas, dan senantiasa memilih barisan yang paling depan dalam sholat berjamaah atau dalam perang suci.
    • Shafa : bersih atau jernih.
    • Shufanah : Sebutan nama kayu yang bertahan tumbuh di padang pasir.
    • Shuf (bulu domba): disebabkan karena kaum sufi biasa menggunakan pakaian dari bulu domba yang kasar, sebagai lambang akan kerendahan hati mereka, juga menghindari sikap sombong, serta meninggalkan usaha-usaha yang bersifat duniawi. Orang yang berpakaian bulu domba disebut “ mutashawwif ”, sedangakan perilakunya disebut “ tasawuf ”
    • Theosofi : Ilmu ketuhanan. Tetapi yang terakhir ini tidak disetujui oleh H.A.R.Gibb. Dia cenderung kata tasawuf berasal dari Shuf (bulu domba).
  • 2.Pengertian Tasawuf Secara Terminologi(Istilah)

    Pengertian tasawuf menurut istilah atau terminologi pun diartikan secara variatif oleh para ahli sufi, berikut adalah Pengertian Tasawuf Menurut Para Ahli :
    • Imam Junaid dari Baghdad (m. 910)
      mendefinisikan tasawuf sebagai “mengambil setiap sifat mulia dan meninggalkan setiap sifat rendah”.
    • Syekh Muhammad Al-Kurdi
      Tasaawwuf adalah suatu ilmu yang dengannya dapat diketahuai hal ihwal( perbuatan) kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihakannya dari( sifat-sifat yang buruk) dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji, cara Melakukan suluk, melangkah menuju keridhaan allah dan meningglkan larangannya menuju larangannya.
    • Imam Ghazali
      Imam ghozali dalam kitab Ihya’ ulumuddin, Tasawuf adalah ilmu yang membahas cara-cara seseorang mendekatkan diri kepada Allah SWT.Tasawwuf adalah budi pekerti barang siapa yang memberikan budi pekerti atasmu, berarti ia memberikan bekal atas dirimu dalam bertasawwuf, maka hamba yang jiwanya menerima (perintah) untuk beramal karena sesungguhnya mereka melakukan suluk dengan suluk dengan nur (petunjuk) islam dan ahli zuhud yang jiwanya menerima (Perintah) untuk melakukan beberapa akhlq (terpuji), karena mereka telah melakukan suluk nur dengan nur (petunjuk) imannya.
    • Mahmud amin An-Nawawi mengemukakan pendapat Al-Junaid al-Baqhdadi yang mengemukakan. Tassawwuf adalah memelihara( menggunakan) waktu . kemudian berkata: seorang hamba tidak akan menekuni ( amalan tasawwuf ) tanpa aturan, (menganggap ) tidak tepat (ibadahnya) tanpa tertuju kepada tuhan-Nya dan merasa tidak berhubungan ( dengan tuhannya) tanpa menggunakan waktu (untuk beribadah kepada tuhan-Nya)
    • Sa- Suhrawardi mengemukakan pendapat ma’ruf Al-Karakhy yang mengatakan
      tasawwduf adalah mencari hakekat dan meninggalkan sesuatu yang ada ditangan makhluk ( kesenangan duniawi)
    • Harun Nasution mengemukakan bahwa tasawwuf mengemukakan kata yang bisa dihubungkan dengan kata tasawwuf ada 4 yaitu As-habus Suffah( orang-orang yang ikut nabi pindah kemadinah) Saf( barisan) sufi ( suci ) suf ( wol) semua itu bisa dihubungkan dengan tasawwuf. As-Habus Suffah ialah orang-orang muslim mekkah yang ikut Nabi hijrah kemadinah dan ia tidak mempunyai harta apapun terkecuali iman, mereka tidak punya rumah sehingga ia tidur di depan masjid madinah dengan mamakai selimut. Dari sinilah muncullah istilah tasawwuf yang menggambarkan hidup kepasraan para sahabat dalam menjalani hidup yang serba kekurangan
    • Syekh Abul Hasan asy-Syadzili (m. 1258) syekh sufi besar dari Afrika Utara, mendefinisikan tasawuf sebagai “praktik dan latihan diri melalui cinta yang dalam dan ibadah untuk mengembalikan diri kepada jalan Tuhan” 3).
    • Sahal al-Tustury (w 245) mendefinisikan tasawuf dengan “ orang yang hatinya jernih dari kotoran, penuh pemikiran, terputus hubungan dengan manusia, dan memandang antara emas dan kerikil” 4).
    • Syeikh Ahmad Zorruq (m. 1494) dari Maroko mendefinisikan tasawuf sebagai berikut:
      “Ilmu yang denganya anda dapat memperbaiki hati dan menjadikannya semata-mata bagi Allah, dengan menggunakan pengetahuan anda tentang jalan islam, khususnya fiqih dan pengetahuan yang berkaitan, untuk memperbaiki amal anda dan menjaganya dalam batas-batas syariat islam agar kebijaksanaan menjadi nyata”
    • Al-Syibli, Tasawuf ialah mengabdikan diri kepada Allah SWT tanpa keluh kesah.
    • Samnun Tasawuf adalah engkau merasai engkau tidak memiliki suatupun didunia ini, dan engkau tidak dimiliki oleh siapapun di kalangan mahluk di dunia ini.
    • Al-Juarairi,Tasawuf adalah berahlak dengan ahlak yang tinggi dan meninggalkan perilaku keji.
    • Ahmad Amnun, Tasawuf adalah ketekunan dalam ibadah, hubungan langsung dengan Allah, menjauhkan diri dari kemewahan duniawi, berlaku zuhud terhadap yang diburu orang banyak dan menghindarkan diri dari mahluk di dalam kholwat untuk beribadah.
    • Ibnu Kaldum dalam buku Munajat Sufi, Tasawuf adalah sebagian ilmu dari ajaran islam yang bertujuan agar seseorang tekun beribadah dan memutuskan hubungan selain Allah hanya menghadap Allah semata, menolak hiasan-hiasan duniawi, serta membenci sesuatu yang memperdaya manusia dan menyendiri menuju jalan Allah dalam Kholwat untuk beribadah.
    Kesimpulan pengertian diatas, bahwa Tasawuf adalah sebagian Ilmu ajaran islam yang membahas cara-cara seseorang mendekatkan diri kepada Allah,  seperti berakhlak yang tinggi ( mulia ).,tekun dalam beribadah tanpa keluh kesah.,memutuskan hubungan selain Allah karena kita merasai tidak memiliki suatu apapun didunia ini dan kita tidak dimiliki oleh siapapun di kalangan makhluk.,menolak hiasan-hiasan duniawi seperti kelezatan dari harta benda yang biasa memperdaya manusia, dan menyendiri menuju jalan Allah dalam Kholwat ( mengasingkan diri dari keramaian dunia ) untuk beribadah.
    Secara sederhana, bahwa Tasawuf adalah suatu sistem latihan dengan kesungguhan (riyadlah-mujahadah) untuk membersihkan, mempertinggi, dan memperdalam kerohanian dalam rangka mendekatkan (taqarrub) kepada Allah, sehingga dengan itu maka segala konsentrasi seseorang hanya tertuju kepada-Nya.

B. Dasar-Dasar Tasawwuf

Para pengkaji tentang tasawuf sepakat bahwasanya tasawuf berazaskan kezuhudan sebagaimana yang diperaktekkan oleh Nabi Saw, dan sebahagian besar dari kalangan sahabat dan tabi’in.
Kezuhudan ini merupakan implementasi dari nash-nash al-Qur’an dan Hadis-hadis Nabi Saw yang berorientasi akhirat dan berusaha untuk menjuhkan diri dari kesenangan duniawi yang berlebihan yang bertujuan untuk mensucikan diri, bertawakkal kepada Allah Swt, takut terhadap ancaman-Nya, mengharap rahmat dan ampunan dari-Nya dan lain-lain.
Meskipun terjadi perbedaan makna dari kata sufi akan tetapi jalan yang ditempuh kaum sufi berlandasakan Islam. Diantara ayat-ayat Allah yang dijadikan landasan akan urgensi kezuhudan dalam kehidupan dunia adalah firman Allah dalam al-Qur’an yang Artinya: “Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat”. (Q.S Asy-Syuura [42] : 20).
Diantara nash-nash al-Qur’an yang mememerintahkan orang-orang beriman agar senantiasa berbekal untuk akhirat adalah firman Allah dalam Q.S al-Hadid [57] ayat: 20 yang Artinya: “Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; Kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning Kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia Ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”.
Ayat ini menandaskan bahwa kebanyakan manusia melaksanakan amalan-amalan yang menjauhkannya dari amalan-amalan yang bermanfaat untuk diri dan keluarganya, sehingga mereka dapat kita temukan menjajakan diri dalam kubangan hitamnya kesenangan dan gelapnya hawa nafus mulai dari kesenangan dalam berpakaian yang indah, tempat tinggal yang megah dan segala hal yang dapat menyenangkan hawa nafsu, berbangga-bangga dengan nasab dan banyaknya harta serta keturunan (anak dan cucu). Akan tetapi semua hal tesebut bersifat sementar dan dapat menjadi penyebab utama terseretnya seseorang kedalam azab yang sangat pedih pada hari ditegakkannya keadilan di sisi Allah, karena semua hal tersebut hanyalah kesenangan yang melalaikan, sementara rahmat Allah hanya terarah kepada mereka yang menjauhkan diri dari hal-hal yang melalaikan tersebut.
Ayat al-Qur’an lainnya yang dijadikan sebagai landasan kesufian adalah ayat-ayat yang berkenaan dengan kewajiban seorang mu’min untuk senantiasa bertawakkal dan berserah diri hanya kepada Allah swt semata serta mencukupkan bagi dirinya cukup Allah sebagai tempat menggantungkan segala urusan, ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan hal tersebut cukup variatif tetapi penulis mmencukupkan pada satu diantara ayat –ayat tersebut yaitu firman Allah dalam Q.S ath-Thalaq [65] ayat : 3 yang Artinya: “Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah Telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”.
Diantara ayat-ayat al-Qur’an yang menjadi landasan munculnya kezuhudan dan menjadi jalan kesufian adalah ayat-ayat yang berbicara tentang rasa takut kepadan Allah dan hanya berharap kepada-Nya diantaranya adalah firman Allah dalam Q.S as-Sajadah [ ] ayat : 16 yang berbunyi : yang Artinya: “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap.
Maksud dari perkataan Allah Swt : “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya” adalah bahwa mereka tidak tidur di waktu biasanya orang tidur untuk mengerjakan shalat malam”.
Terdapat banyak ayat yang berbicara tentang urgensi rasa takut dan pengharapan hanya kepada Allah semata akan tetapi penulis cukupkan pada kedua ayat terdahulu.
Diantara ayat-ayat yang menjadi landasan tasawuf adalah nash-nash Qura’ny yang menganjurkan untuk beribadah pada malam hari baik dalam bentuk bertasbih ataupun quyamullail diantaranya adalah firman Allah yang Artinya:
Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang Terpuji.(Q.S al-Isra’ [17] ayat : 79 yang Artinya: “Dan sebutlah nama Tuhanmu pada (waktu) pagi dan petang. Dan pada sebagian dari malam, Maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang dimalam hari”. (Q.S al-Insan [76] ayat : 25-26) yang Artinya: “Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka”
Tiga ayat di atas menunjukkan bahwa mereka yang senantiasa menjauhi tempat tidur di malam hari dengan menyibukkan diri dalam bertasbih dan menghidupkan malam-malamnya dengan shalat dan ibadah-ibadah sunnah lainnya hanya semata-mata untuk mengharapkan rahmat, ampunan, ridha, dan cinta Tuhannya kepadanya akan mendapatkan maqam tertinggi di sisi Allah.
Selain daripada hal-hal yang telah penulis uraikan sbelumnya, diantara pokok-pokok ajaran tasawuf adalah mencintai Allah dengan penuh ketulusan dan keikhlasan hal ini berlandaskan kepada firman Allah swt dalam Q.S at-Taubah ayat : 24 yang Artinya: ”Katakanlah: “Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan Keputusan-Nya”. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik”.
Ayat ini menunjukkan bahwa kecintaan terhadap Allah, Rasul-Nya dan berjihad di jalan-Nya harus menjadi prioritas utama di atas segala hal, bahkan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya harus melebihi di atas kecintaan kepada ayah, ibu, anak, istri, keluarga, harta, perniagaan dan segala hal yang bersifat duniawi, atau dengan kata lain bahwa seseorang yang ingin mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan mendambakan tempat terbaik diakhirat hendaknya menjadikan Allah dan Rasul-Nya sebagai kecintaan tertinggi dalam dirinya (ibnuel-mubhar.blogspot.com).

C. Sejarah Tasawuf

Sejarah tasawuf dimulai dengan Imam Ja’far Al Shadiq ibn Muhamad Bagir ibn Ali Zainal Abidin ibn Husain ibn Ali ibn Abi Thalib. Imam Ja’far juga dianggap sebagai guru dari keempat imam Ahlulsunah yaitu Imam Abu Hanifah, Maliki, Syafi’i dan Ibn Hanbal.
Ucapan – ucapan Imam Ja’far banyak disebutkan oleh para sufi seperti Fudhail ibn Iyadh Dzun Nun Al Mishri, Jabir ibn Hayyan dan Al Hallaj. Diantara imam mazhab di kalangan Ahlulsunah, Imam Maliki yang paling banyak meriwayatkan hadis dari Imam Ja’far.
Kaitan Imam Ja’far dengan tasawuf, terlihat dari silsilah tarekat, seperti Naqsyabandiyah yang berujung pada Sayyidina Abubakar Al Shidiq ataupun yang berujung pada Imam Ali selalu melewati Imam Ja’far.
Kakek buyut Imam Ja’far, dikenal mempunyai sifat dan sikap sebagai sufi. Bahkan (meski sulit untuk dibenarkan) beberapa ahli menyebutkan Hasan Al Bashri, sufi-zahid pertama sebagai murid Imam Ali. Sedangkan Ali Zainal Abidin (Ayah Imam Ja’far) dikenal dengan ungkapan-ungkapan cintanya kepada Allah yang tercermin pada do’anya yang berjudul “Al Shahifah Al Sajadiyyah”.
Tasawuf lahir dan berkembang sebagai suatu disiplin ilmu sejak abad k-2 H, lewat pribadi Hasan Al Bashri, Sufyan Al Tsauri, Al Harits ibn Asad Al Muhasibi, Ba Yazid Al Busthami. Tasawuf tidak pernah bebas dari kritikan dari para ulama (ahli fiqh, hadis dll).
Praktik – praktik tasawuf dimulai dari pusat kelahiran dan penyiaran agama Islam yaitu Makkah dan Madinah, jika kita lihat dari domisili tokoh-tokoh perintis yang disebutkan di atas.
Di kalangan para orientalis Barat biasanya dijumpai pendapat yang mengatakan bahwa sumber yang menbentuk tasawuf itu ada lima, yaitu unsur Islam, unsur Masehi, unsur Yunani, unsur Hindu/Budha dan unsur Persia.6 Kelima unsur ini secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut :
  1. Unsur Islam
    Secara umum ajaran Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah dan batiniah. Pada unsur kehidupan bersifat batiniah itulah kemudian lahir tasawuf. Unsur kehidupan ini mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran Islam, Al-Qur’an dan sunnah serta praktek kehidupan Nabi dan para sahabatnya. Al-Qur’an antara lain berbicara tentang kemungkinan manusia dengan Tuhan dapat saling mencintai (mahabbah) (QS. Al-Maidah 54), perintah agar manusia senantiasa bertaubat, membersihkan diri dan memohon ampunan (QS. Al-Thamrin 8), petunjuk bahwa manusia akan senantiasa bertemu dengan Tuhan dimanapun mereka berada (QS. Al-Baqarah 110). Selanjutnya al-Qur’an mengingatkan manusia agar dalam hidupnya tidak diperbudak dunia dan harta benda (QS. Al- Hadid dan al-Fatir 5), dan senantiasa bersikap sabar dalam menjalani pendekatan diri kepada Allah (QS. Ali Imran). Sejalan dengan apa yang dibicarakan al-Qur’an diatas, Sunnahpun banyak berbicara tentang kehidupan rohaniah antara lain :Aku adalah perbendaharaan yang bersembunyi, maka aku menjadikan makhluk agar mereka mengenal-Ku.Selanjutnya didalam kehidupan Nabi Muhammad juga terdapat petunjuk yang menggambarkannya sebagai seorang sufi. Nabi telah melakukan pengasingan diri ke Gua Hira’ menjelang datangnya wahyu. Selama di Gua Hira’ ia tafakkur, beribadah dan hidup sebagai seorang yang zahid. Beliau hidup sederhana, tidak memakan atau meminum minuman kecuali yang halal.
  2. Unsur Luar Islam
    Dalam berbagai literatur yang ditulis para orientalis Barat sering dijumpai uraian yang menjelaskan bahwa tasawuf Islam dipengaruhi oleh unsur agama Masehi, unsur Yunani, unsur Hindu/Budha dan unsur Persia. Hal ini secara akademik bisa saja diterima, namun secara akidah perlu kehati-hatian. Para orientalis Barat menyimpulkan bahwa adanya unsur luar Islam masuk ke dalam tasawuf itu disebabkan karena secara historis agama-agama tersebut telah ada sebelum Islam. Tetapi kita tidak dapat mengatakan bahwa boleh saja orang Arab terpengaruh oleh agama-agama tersebut, namun tidak secara otomatis mempengaruhi kehidupan tasawuf, karena para penyusun ilmu tasawuf atau orang yang kelak menjadi sufi itu bukan berasal dari mereka itu. Unsur-unsur luar Islam yang diduga mempengaruhi tasawuf Islam itu adalah sebagai berikut :
    a. Unsur Masehi
    Dalam ajaran Kristen ada faham menjauhi dunia dan hidup mengasingkan diri dalam biara. Dalam literatur Arab yang terdapat tulisan-tulisan tentang rahib-rahib yang mengasingkan diri di padang pasir Arabiah. Dikatakan bahwa zahid dan sufi dalam Islam meninggalkan dunia, memilih hidup sederhana dan mengasingkan diri adalah atas pengaruh rahib Kristen.7
    b. Unsur Yunani
    Ajaran Pythagoras untuk meninggalkan dunia dan pergi berkontemplasi, menurut sebagian orang inilah yang mempengaruhi Zuhud dan tasawuf dalam Islam.8 Filsafat mistik Phytagoras mengatakan bahwa roh manusia bersifat kekal dan berada di dunia sebagai orang asing. Kesenangan roh yang sebenarnya berada di alam samawi.
    c. Unsur Hindu/Budha
    Dalam ajaran Budha dinyatakan bahwa untuk mencapai nirwana orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Faham fana’ yang terdapat dalam tasawuf hampir serupa dengan faham nirwana.Dalam ajaran Hindu juga dianjurkan agar manusia meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan.
    d. Unsur Persia
    Diantara para orientalis ada yang berpendapat bahwa tasawuf berasal dari Persia, karena sebagian tokohnya berasal dari Persia, seperti Ma’ruf al-Karkhi dan Abu Yazid al-Bustami. Pendapat ini tidak mempunyai pijakan yang kuat, karena perkembangan tasawuf tidak sekedar upaya mereka saja. Banyak para sufi Arab yang hidup di Syria, bahkan di kawasan Afrika (Maroko), seperti al-Darani, Zu al-Nun al-Misri dan lain-lain.9

D. Perkembangan Tasawuf

Pertumbuhan dan perkembangan tasawuf di dunia Islam dapat dikelompokan ke dalam beberapa tahap :
Tahap Zuhud (Asketisme)
Tahap awal perkembangan tasawuf dimulai pada akhir abad ke-1H sampai kurang lebih abad ke-2H.
Gerakan zuhud pertama kali muncul di Madinah, Kufah dan Basrah kemudian menyebar ke Khurasan dan Mesir. Awalnya merupakan respon terhadap gaya hidup mewah para pembesar negara akibat dari perolehan kekayaan melimpah setelah Islam mengalami perluasan wilayah ke Suriah, Mesir, Mesopotamia dan Persia.
Tokoh-tokohnya menurut tempat perkembangannya :
1. Madinah
Dari kalangan sahabat Nabi Muhammad Saw, Abu Ubaidah Al Jarrah (w. 18 H); Abu Dzar Al Ghiffari (W. 22 H); Salman Al Farisi (W.32 H); Abdullah ibn Mas’ud (w. 33 H); sedangkan dari kalangan satu genarasi setelah masa Nabi (Tabi’în) diantaranya, Said ibn Musayyab (w. 91 H); dan Salim ibn Abdullah (w. 106 H).
2. Basrah
Hasan Al Bashri (w. 110 H); Malik ibn Dinar (w. 131 H); Fadhl Al Raqqasyi, Kahmas ibn Al Hadan Al Qais (w. 149 H); Shalih Al Murri dan Abul Wahid ibn Zaid (w. 171 H)
3. Kufah
Al Rabi ibn Khasim (w. 96 H); Said ibn Jubair (w. 96 H); Thawus ibn Kisan (w. 106 H); Sufyan Al Tsauri (w.161 H); Al Laits ibn Said (w. 175 H); Sufyan ibn Uyainah (w. 198 H).
4. Mesir
Salim ibn Attar Al Tajibi (W. 75H); Abdurrahman Al Hujairah ( w. 83 H); Nafi, hamba sahaya Abdullah ibn Umar (w. 171 H).
Pada masa-masa terakhir tahap ini, muncul tokoh-tokoh yang dikenal sebagai sufi sejati, diantaranya, Ibrahim ibn Adham (w. 161 H); Fudhail ibn Iyadh (w. 187 H); Dawud Al Tha’i (w. 165 H) dan Rabi’ah Al Adawiyyah.
Tahap Tasawuf (abad ke 3 dan 4 H )
Paruh pertama pada abad ke-3 H, wacana tentang Zuhud digantikan dengan tasawuf. Ajaran para sufi tidak lagi terbatas pada amaliyah (aspek praktis), berupa penanaman akhlak, tetapi sudah masuk ke aspek teoritis (nazhari) dengan memperkenalkan konsep-konsep dan terminology baru yang sebelumnya tidak dikenal seperti, maqam, hâl, ma’rifah, tauhid (dalam makna tasawuf yang khas); fana, hulul dan lain- lain.
Tokoh-tokohnya, Ma’ruf Al Kharkhi (w. 200 H), Abu Sulaiman Al Darani (w. 254 H), Dzul Nun Al Mishri (w. 254 H) dan Junaid Al Baghdadi.
Muncul pula karya-karya tulis yang membahas tasawuf secara teoritis, termasuk karya Al Harits ibn Asad Al Muhasibi (w. 243 H); Abu Said Al Kharraz (w. 279 H); Al Hakim Al Tirmidzi (w. 285 H) dan Junaid Al Baghdadi (w. 294 H)
Pada masa tahap tasawuf, muncul para sufi yang mempromosikan tasawuf yang berorientasi pada “kemabukan” (sukr), antara lain Al Hallaj dan Ba Yazid Al Busthami, yang bercirikan pada ungkapan – ungkapam ganjil yang sering kali sulit untuk dipahami dan terkesan melanggar keyakinan umum kaum muslim, seperti “Akulah kebenaran” (Ana Al Haqq) atau “Tak ada apapun dalam jubah-yang dipakai oleh Busthami selain Allah” (mâ fill jubbah illâ Allâh), kalau di Indonesia dikenal dengan Syekh Siti Jenar dengan ungkapannya “Tiada Tuhan selain Aku”.
Tahap Tasawuf Falsafi (Abad ke 6 H)
Pada tahap ini, tasawuf falsafi merupakan perpaduan antara pencapaian pencerahan mistikal dan pemaparan secara rasional-filosofis. Ibn Arabi merupakan tokoh utama aliran ini, disamping juga Al Qunawi, muridnya. Sebagian ahli juga memasukan Al Hallaj dan Abu (Ba) Yazid Al Busthami dalam aliran ini.
Aliran ini kadang disebut juga dengan Irfân (Gnostisisme) karena orientasinya pada pengetahuan (ma’rifah atau gnosis) tentang Tuhan dan hakikat segala sesuatu.
Tahap Tarekat ( Abad ke-7 H dan seterusnya )
Meskipun tarekat telah dikenal sejak jauh sebelumnya, seperti tarekat Junaidiyyah yang didirikan oleh Abu Al Qasim Al Juanid Al Baghdadi (w. 297 H) atau Nuriyyah yang didirikan oleh Abu Hasan Ibn Muhammad Nuri (w. 295 H), baru pada masa-masa ini tarekat berkembang dengan pesat.
Seperti tarekat Qadiriyyah yang didirikan oleh Abdul Qadir Al Jilani (w. 561 H) dari Jilan (Wilayah Iran sekarang); Tarekat Rifa’iyyah didirikan oleh Ahmad Rifai (w. 578 H) dan tarekat Suhrawardiyyah yang didirikan oleh Abu Najib Al Suhrawardi (w. 563 H). Tarekat Naqsabandiyah yang memiliki pengikut paling luas, tarekat ini sekarang telah memiliki banyak variasi , pada mulanya didirikan di Bukhara oleh Muhammad Bahauddin Al Uwaisi Al Bukhari Naqsyabandi

E. Tujuan Tasawwuf

Ilmu tasawwuf adalah tuntunan yang daoat menyampaikan manusia untuk mengenal Allah swt., dan dengan tasawwuf ini pula seseorang dapat melangkah sesuai dengan tuntutan yang paling baik dan benar dengan akhlak yang indah serta akidah yang kuat. Oleh sebab itu, seorang mutasawwif tidak mempunyai tujuan lain dari mencapai ma’rifat billah (mengenal Allah) dengan sebenar-benarnya dan tersingkapnya dinding hijab yang membatasinya dengan Allah.
Bagi mereka, mendekatkan diri kepada Allah selalu dilandasi semangat beribadah dengan tujuan untuk mencapai kesempurnaan hidup dan ma’rifah.
Adapun yang dimaksud dengan ma’rifatullah adalah melihat tuhan dengan hati secara jelas dan nyata dengan segala kenikmatan dan kebesarannya tapi tidak dengan kaifiyat. Artinya tuhan tidak digambarkan sebagai benda atau seperti manusia ataupun bentuk tertentu sebagai jawaban tentang bagaimana dzat tersebut.
Sedangkan yang dimaksud dengan kesempurnaan hidup adalah tercapainya martabat dan derajat kesempurnaan atau insan kamil. Insan kamil dalam pandangan ahli sufi berbeda-beda. Di antaranya adalah seperti yang disebutkan oleh Ibnu Arabi bahwa insan kamil adalah manusia yang sempurna karena adanya realisasi wahdah asasi dengan Allah yang mengakibatkan adanya sifat dan keutamaan tuhan pada dirinya.
Dengan demikian, maka ilmu tasawwuf yang pada intinya adalah sebagai usaha untuk menyingkap hijab yang membatasi antara manusia dengan Allah swt. Dengan sistem yang tersusun melalui latihan ruhaniyah dan riyadhah an-nafs yang mengandung empat unsur pokok:
  1. Metafisika, yakni hal-hal yang berkenaan dengan luar alam dunia atau bisa juga dikatakan sebagai ilmu ghaib.
  2. Etika, yakni ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan yang buruk dengan melihat pada amal manusia sejauh yang dapat dicari oleh akal dan pikiran manusia.
  3. Psikologia, yakni masalah yang berhubungan dengan jiwa. Psikologi dalam tasawwuf tentu sangat berbeda dengan psikologi modern. Dalam tasawwuf yang menjadi objek psikologi adalah diri sendiri.
  4. Estetika, yakni ilmu keindahan yang melahirkan seni. Untuk meresapkan seni, harus ada keindahan dalam diri. Puncak keindahan itu adalah cinta.
Bagaimana Apakah masih kurang lengkap pembahasan mengenai tasawuf di atas? Semoga aja uda lengkap dan jelas!
Sumber : Masuk-islam.com telah merangkumnya dari berbagai sumber, mengedit dan menambahakan, dan menyajikan dengan rapi agar mudah dipahami :
makalahmajannaii.blogspot.com/2012/04/tasawwuf-pengertian-asal-usul-dan.html
sarjanaku.com/2011/11/pengertian-tasawuf-secara-etimologi-dan.html
alawiyahblog2.blogspot.com/2012/09/pengertian-tasawuf-menurut-para-ahli.html
zidandemak.blogspot.com/2011/12/pengertian-tasawuf-miturut-istilahi.html

Rabu, 17 Januari 2018

~•.*?* 10 PENYEBAB DO’A SESEORANG TIDAK DIKABULKAN . . .


Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh…
Dalam Surat Al-Baqarah ayat 186, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyuruh kepada pemeluk agama Islam supaya sering-sering memohonkan do’a dengan hati yang tulus ikhlas. Demikian pula berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Ahmad, menyatakan bahwa salah satu diantara do’a yang sering beliau ucapkan adalah
“Ya Allah…Aku berlindung kepada Engkau dari hati yang tidak khusyu’, dari nafsu yang tidak merasa kenyang, dari ilmu yang tidak memberi manfaat, dan dari do’a yang tidak dikabulkan”.
Jadi syarat yang utama terkabulnya suatu do’a adalah keikhlasan, keyakinan yang bulat dan kesucian hidup.
Banyak orang yang mengeluh do’anya masih belum dikabulkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, padahal setiap pagi dan malam mereka menadahkan tangan bermohon kepada Ilahi, namun apa yang dimintanya tidak kunjung datang. Timbul pertanyaan, kenapa belum dikabulkan ?!
Apa penyebabnya ?!.
Pada hakekatnya, sebab-sebab belum dikabulkan itu terletak pada si pemohon sendiri dan syarat yang penting agar terkabulnya do’a adalah dilakukan dengan hati (bukan dengan mulut). Salah seorang ulama sufy bernama Ibrahim bin Adham (hidup pada abad ke 8 Masehi) memberikan jawaban sebab-sebab do’a tidak dikabulkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala ada sepuluh macam, yaitu :
~•.*?* 1). Kamu tidak membayarkan hak-hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hak Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah untuk disembah. Setiap hamba harus mensyukuri nikmat yang dilimpahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadanya dengan jalan menyembah-Nya (ta’abbudi). Bagaimana mungkin Allah Subhanahu wa Ta’ala memperkenankan do’a seorang hamba, bila Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan supaya ia berjalan ke kanan, tetapi masih ditempuhnya jalan ke kiri ?!.
~•.*?* 2). Kamu tidak mengamalkan isi Al-Qur’an. Kitab suci Al-Qur’an senantiasa dibaca (bahkan dilagukan), namun isinya tidak dipelajari sehingga tidak bisa menghayatinya. Kalaupun ada satu dua ayat yang dapat dimengerti tidak diamalkan, bahkan kadang-kadang sengaja dilanggar.
~•.*?* 3). Kamu tidak menjalankan sunnah rosulullah. Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan jalan yang lurus, tapi tidak sedikit jumlahnya manusia yang memilih jalan berkelok-kelok. Kadang, ada pula yang katanya mengikuti sunnah rosul, mengamalkannya tapi tidak dikerjakan, tidak dilakukan sesuai yang dikerjakan rosulullah (nota bene melakukan bid’ah). Orang yang mengerjakan perbuatan bid’ah, tidak ubahnya peribahasa “arang habis, besi binasa”…tidak mendatangkan keuntungan (hanya memperoleh kerugian atau dosa semata).
~•.*?* 4). Kamu patuh kepada syaitan. Syaitan adalah musuh bebuyutan manusia yang selalu berusaha menjatuhkan Bani Adam ke lembah kenistaan, dengan jalan mempengaruhi hawa nafsu manusia yang jelek. Dalam kehidupan sehari-hari, kebanyakan manusia berlutut kepada syaitan dengan memperturutkan hawa nafsu dan dengan sikapnya itu dia telah menguasai syaitan.
~•.*?* 5). Kamu menerjunkan diri ke jurang. Maksudnya, kebanyakan manusia ingin memasuki pintu kebahagiaan, namun dia sendiri mengunci pintu itu, artinya dia tidak mau mengerjakan yang ma’ruf tapi selalu bergelimang dengan perbuatan dosa dan maksiat.
~•.*?* 6). Ingin masuk surga tapi tidak beramal. Orang yang seperti ini tidak ubahnya laksana seorang yang ingin kaya tapi tidak berusaha, malah bermalas-malasan. Mau menang, tapi tidak berjuang, mau pinter tapi malas belajar.
~•.*?* 7). Sadar akan mati, tapi tidak mempersiapkan diri. Artinya mengakui dan insaf bahwa hidup di dunia ini hanya sementara, sedangkan hidup yang abadi di akherat kelak. Namun demikian, mereka tidak mengerjakan amal shalih yang akan menjadikan anak kunci membuka pintu kehidupan yang abadi itu.
~•.*?* 8). Kamu melihat cacat orang lain, cacat sendiri tak tampak. Peribahasa mengatakan bahwa “Ketam di seberang lautan kelihatan, tapi gajah di pelupuk mata sendiri tidak tampak”. Orang semacam ini selalu “menuding-nuding” orang lain, tapi amat jarang menghadapkan telunjuknya ke belakang (menunjuk dadanya sendiri).
~•.*?* 9). Kamu mengecap nikmat, tapi tidak bersyukur. Artinya, sejak kecil manusia diberikan nikmat Ilahi tapi tidak berterimakasih. Bahkan sering membangkang dengan menunjukkan kecongkakannya dan lupa daratan.
~•.*?* 10). Kamu menguburkan jenazah, tapi tidak menyadari diri. Bila ada orang yang meninggal dunia selalu tidak ketinggalan turut mengantar jenazah itu sampai ke pemakaman. Tapi tidak menarik pelajaran dari kejadian itu, bahwa apabila hari ini kita turut mengantar orang ke pemakaman, mungkin besok atau lusa kita sendiri yang akan diantar orang ke pemakaman. Dalam hubungan ini, diriwayatkan bahwa Abu Bakar Siddiq apabila turut mengantarkan jenazah, beliau menangis sampai air matanya jatuh ke jenggotnya karena menyadari bahwa beliau sendiri akan mengalami dimakamkan.
Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh….

BEBERAPA KEUTAMAAN DAN KEBERKAHAN HARI SENIN DAN KAMIS

Oleh Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i
Di antara keutamaan dan keberkahannya, bahwa pintu-pintu Surga dibuka pada dua hari tersebut, yaitu Senin dan Kamis. Pada saat inilah orang-orang Mukmin diampuni, kecuali dua orang Mukmin yang sedang bermusuhan. Dalil yang menguatkan hal ini adalah hadits yang termaktub dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“تُفْتَحُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ يَوْمَ الاثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ لاَ يُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا إِلاَّ رَجُلاً كَانَتْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ، فَيُقَالُ: أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا، أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا، أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا.”
“Pintu-pintu Surga dibuka pada hari Senin dan Kamis. Maka semua hamba yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun akan diampuni dosa-dosanya, kecuali seseorang yang antara dia dan saudaranya terjadi permusuhan. [1] Lalu dikatakan, ‘Tundalah [2] pengampunan terhadap kedua orang ini sampai keduanya berdamai, tundalah pengampunan terhadap kedua orang ini sampai keduanya berdamai, tundalah pengam-punan terhadap kedua orang ini sampai keduanya berdamai.” [3]
Keutamaan dan keberkahan berikutnya, bahwa amal-amal manusia diperiksa di hadapan Allah Tabaaraka wa Ta’aalaa pada kedua hari ini. Sebagaimana yang terdapat dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda,
“تُعْرَضُ أَعْمَالُ النَّاسِ فِي كُلِّ جُمُعَةٍ مَرَّتَيْنِ يَوْمَ اْلاثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ مُؤْمِنٍ إِلاَّ عَبْدًا بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ.”
“Amal-amal manusia diperiksa di hadapan Allah dalam setiap pekan (Jumu’ah) dua kali, yaitu pada hari Senin dan Kamis. Maka semua hamba yang beriman terampuni dosanya, kecuali seorang hamba yang antara dia dan saudaranya terjadi permusuhan…” [Al-Hadits] [4]
Karena itu, selayaknya bagi seorang Muslim untuk menjauhkan diri dari memusuhi saudaranya sesama Muslim, atau memutuskan hubungan dengannya, ataupun tidak memperdulikannya dan sifat-sifat tercela lainnya, sehingga kebaikan yang besar dari Allah Ta’ala ini tidak luput darinya.
2. Keutamaan hari Senin dan Kamis yang lainnya, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat antusias berpuasa pada kedua hari ini.
Sebagaimana yang terdapat dalam sebagian kitab hadits dari ‘Aisyah Rahiyallahu anhuma, ia mengatakan,
“كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صَوْمَ اْلإِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ.”
”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat antusias dan bersungguh-sungguh dalam melakukan puasa pada hari Senin dan Kamis ”.[5]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan alasan puasanya pada kedua hari ini dengan sabdanya,
“تُعْرَضُ الأَعْمَالُ يَوْمَ اْلإِثْنَيْنِ وَالْخَمِيْسِ فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ.”
“Amal-amal manusia diperiksa pada setip hari Senin dan Kamis, maka aku menyukai amal perbuatanku diperiksa sedangkan aku dalam keadaan berpuasa.” [HR. At-Tirmidzi dan lainnya] [6]
Dan dalam Shahih Muslim dari hadits Abu Qatadah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang puasa hari Senin, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
“ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيْهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَيَّ فِيْهِ.”
“Hari tersebut merupakan hari aku dilahirkan, dan hari aku diutus atau diturunkannya al-Qur-an kepadaku pada hari tersebut.” [7]
Ash-Shan’ani rahimahullah berkata, “Dan tidak ada kontradiksi antara dua alasan tersebut.” [8]
Berdasarkan argumentasi dari hadits-hadits ini, maka disunnahkan bagi seorang Muslim untuk berpuasa pada dua hari ini, sebagai puasa tathawwu’ (sunnah).
3. Keutamaan lain yang dimiliki hari Kamis, bahwa kebanyakan perjalanan (safar) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terjadi pada hari Kamis ini.
Beliau menyukai keluar untuk bepergian pada hari Kamis. Sebagaimana tercantum dalam Shahih al-Bukhari bahwa Ka’ab bin Malik Radhiyallahu anhu mengatakan:
“لَقَلَّمَا كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ إِذَا خَرَجَ فِي سَفَرٍ إِلاَّ يَوْمَ الْخَمِيْسِ.”
“Sangat jarang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar (untuk melakukan perjalanan) kecuali pada hari Kamis.”
Dalam riwayat lain yang juga dari Ka’ab bin Malik Radhiyallahu anhu:
“أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ يَوْمَ الْخَمِيْسِ فِي غَزْوَةِ تَبُوْكَ وَكَانَ يُحِبُّ أَنْ يَخْرُجَ يَوْمَ الْخَمِيْسِ.”
“Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada hari Kamis di peperangan Tabuk, dan (memang) beliau suka keluar (untuk melakukan perjalanan) pada hari Kamis.” [9]
[Disalin dari buku At Tabaruk Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu, Judul dalam Bahasa Indonesia Amalan Dan Waktu Yang Diberkahi, Penulis Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. An-Nihaayah karya Ibnul Atsir (IV/449).
[2]. Maksudnya, akhirkanlah keduanya. Syarhun Nawawi li Shahiihi Muslim (XVI/123)
[3]. Shahih Muslim (IV/1987) Kitabul Birr was Sihilah wal Aadaab.
[4]. Shahih Muslim (IV/1988) Kitabul Birr was Shilah wal Aadaab.
[5]. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam at-Tirmudzi dalam Sunannya (III/121) Kitabush Shaum, an-Nasa-i dalam Sunannya (IV/202) Kitaabush Shaum, Ibnu Majah dalam Sunannya (I/553) Kitaabush Shiyaam dan Imam Ahmad dalam Musnadnya (VI/106).
[6]. Hadits ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dalam Sunannya (III/122) Kitaabus Shaum bab Maa Jaa’a fii Shaum Yaumil Itsnain wal Khamiis dari Abu Hura-irah. At-Tirmidzi mengatakan, “Hadits ini Hasan Gharib.” Namun menurut Abu Dawud hadits ini memiliki syahid (penguat). Lihat Sunan Abi Dawud Ma’a Badzlil Majhuud (XI/304) Kitabush Shaum bab Shaum Yaumil Itsnain wal Khamiis.
[7]. Ini merupakan bagian dari hadits Abu Qatadah al-Anshari Radhiyallahu anhu yang diriwa-yatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya (II/819) Kitaabush Shiyaam.
[8]. Lihat Subulus Salaam, karya ash-Shan’ani (II/330).
[9]. Shahih al-Bukhari (IV/6) Kitaabul Jihad was Sair.